"kurasa aku gak cocok deh sama kamu..."
"kenapa?"
"karena..."
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dinda Fadhila Nurfaizah. Nama seorang
gadis yang selalu ada di otak diriku. Entah kenapa bisa terus terngiang. Oiya,
aku Adit. Lengkapnya Aditya Muhammad Fauzi. Masih kelas XI SMA di daerah Bandung kok. Kalo kau mau tahu siapa itu Dinda, she's
a perfect girl. Kenapa aku bisa sampai ngomong gitu? Soalnya, dia tuh udah
budinya halus, cantik, ah terlalu banyak kalo disebutin satu-satu. intinya, dia
itu a perfect girl ever I seen. Dia juga aktif di banyak organisasi
juga. Rohis, Seni, OSIS, banyak deh. Maklum aja sih, dia pernah cerita kalo
waktu dia SMP (kata dia SMP nya sekaligus pesantren, ya mirip Gontor lah), dia
orangnya super sibuk. Eskul, organisasi, kegiatan yang dijadwal, ya itulah
kehidupan dia di SMP. Makanya, karena biasa super sibuk (dia juga waktu SMP gak
pernah pacaran), dia nyari banyak kesibukan sekarang.
Pertama
aku kenal dia, dia lagi pe-de-ka-te sama temen, Fikri namanya. Udah deket
banget mereka tuh, seolah udah bakal jadian deh mereka. Sampai-sampai, Dinda
ngasih birthday cake buat dia pas hari ultahnya. Hanya, impian mau
jadian itu kandas di tengah jalan, soalnya (sepertinya) Fikri lagi gak mau
pacaran. Ada cooldown-nya lah ceritanya mah, cooldown dari putus
sama mantannya di SMP (ya iyalah, orang aku satu SMP juga sama si Fikri). Kasihan
lah, Dinda udah ngarep banget itu. Terus, kabar selanjutnya, dia lagi deket
sama yang namanya Hilmy, temen sekelas aku juga sih. Pe-de-ka-te-nya, bisa
dibilang mulus lah, sampai bisa jalan bareng. Ya, durasi pe-de-ka-te-nya cukup
lah. Hanya, kandas di tengah jalan (lagi), rencana si Hilmy mau nembak dia gak
jadi. Soalnya, Dinda udah kelamaan nunggu, jadi bosan dia.
Nah,
kalo kalian mau tahu kenapa aku bisa ada semacam love affair sama dia,
panjang banget sih kisahnya, tapi berawal dari sebuah perkataan yang simpel.
Ketika aku lagi jalan-jalan di timeline twitter (ya biasalah, pekerjaan
seorang singular kok), dia nge-tweet apa gitu, pokoknya tentang kuliah
di Psikologi. Ya, kubalas tweet itu, isinya menjelaskan seputar dunia
psikologi. Nah dari situ, kuminta no hape dia, buat komunikasi lah kalo ada
perlu apa gitu tentang psikologi (awalnya). Itu juga lagi mencari ‘teman hidup’
untuk saat ini juga (baca: pacaran -red). Kadang terpikir, mending pilih Shafa
(temen kelas, cantik kok insyaallah) atau Dinda aja. Tapi semuanya berubah
ketika pada suatu malam menjelang UKK waktu aku kelas satu. Mimpi. Hanya itu.
Tapi mimpi itu (mungkin) tak akan pernah dilupakan seumur hidup. Isi mimpinya?
Aku lagi jalan bareng sama Dinda, kita kayak udah pacaran berbulan-bulan gitu.
Dia meluk tangan aku seolah gak mau kehilangan aku. Berlatar belakang mimpi
itulah, aku berpikir, mungkin selama ini Dindalah yang menjadi jodohku kelak.
Hari ke-2 ujian, itulah hari pertama kumulai program yang disebut pe-de-ka-te.
Waktu itu sih cuman nanya tentang ujian aja. Ya
seperti ruangan berapa, siapa pengawasnya, dan berakhir dengan kata manis,
"good luck ya :)". Tapi disitu jarang sms lagi. Paling hari-hari
akhir pekan UKK, intens banget. Sering sms, ya kadang telpon sih. Dan kelakuan
itu terus berlangsung hingga beberapa minggu kemudian. Isi sms-nya? Cukup dengan apa kabar, makan,
intinya mah ya perhatian lah. Bisa dibilang dalam beberapa hari, hubungan kami
semakin dekat. Disebut hanya teman, lebih dari itu. Pacaran? Engga juga,
soalnya ya kita enggak jadian. Tapi mungkin saat itu kita saling menyimpan rasa
yang... *ah sudahlah. Dilematika mulai menyerang ketika aku nge-share
lirik lagunya Adera yang Lebih Indah bagian reff-nya sih. Ada dua
sasaran, salah satunya jelas, Dinda. Satunya lagi, ekhm, mantan gebetan. Iya,
mantan gebetan. Salma namanya. Kenapa aku share juga ke dia? Dia seorang
Aderable (fans-nya Adera). Udah dikirim tuh lirik. Eh, yang nyahut bukan
yang diharapkan (Dinda), tapi si Salma tadi. Lama berbasa-basi, akhirnya dia
pun buka ‘kartu’ kalo dulu waktu aku ngejar-ngejar dia, dan mengungkapkan isi
hati ini kepada Salma, waktu itu dia bilang “engga deh, maaf. Aku masih setia.”
(iya sih, soalnya waktu itu kan namanya juga tantangan, lagian udah dapat restu
kok dari cowoknya, kata cowoknya sih sekalian ngetes kesetiaan si Salma -_-).
Ternyata eh ternyata, dia bilang “sebenernya aku ingin sekali menjawab mau,
tapi aku takut sama dia.” (oh iya, nama cowoknya tuh Hage). Dan sms itu pun
membuat aku bertanya “kenapa nggak bilang dari dulu sih? Giliran udah ngejar
orang lain, baru cerita”. Masa-masa dilematika seorang Aditya Muhammad Fauzi
pun dimulai. Awalnya kuputuskan kembali. Tapi, suatu ketika, ketika ku bertemu
kembali dengan Dinda, entah kenapa aku memalingkan muka darinya. Dan malamya,
langsung di-sms tuh. Intinya, kenapa aku melakukan hal itu tempo hari. Ketika
itu juga, langsung deh minta maaf aja. Di kemudian hari, hubungan kami semakin
akrab. Dinda pun semakin memberikan 'kode' kalau dia meminta kejelasan hubungan
ini. Aku juga ngerti kalo itu mah. Hanya, ketika itu waktu belum mengizinkan
aku dan dia menjadi kami. Yaudah, kami menjalani ha-te-es ini sajalah dulu.
Kenapa belum nembak juga? Soalnya, inginnya sih langsung face to face aja.
Berdasarkan pengalaman, kalo nembak gak ketemu muka langsung itu suka gak awet
hubungannya. Tapi tetap saja sulit saja untuk bertemu dan mengungkapkan isi
hati ini. Suatu ketika, sekolah mengadakan
MOS (masa orientasi siswa). Hari keduanya, ada demo eskul. Dan kebetulan,
eskulku termasuk yang mengikuti acara tersebut. Dinda pun sms bertanya,
"MB kapan tampil?". "Entar habis istirahat," jawabku.
Dikira cuma nanya, celingak-celinguk ada dia. Ya samperin aja, cuman dari
belakang. Dia nonton bareng temennya, Auliana. Cuman sayang, nontonnya cuman
setengah acara, soalnya dia udah mau latihan untuk esoknya. Dan aku ingin tau,
menurut dia tadi acaranya gimana sih. Jawabannya? Cool man! Siapa yang
hidungnya gak kembang kempis coba kalo dipuji sampe segitu. Kemudian, di esok
harinya, eskul dia juga masuk acara inti, sebagai penutupan MOS. Dia di bidang
seni tari. Kalo dia udah ngeluarin skill, wah, keren deh. Betah
berlama-lama juga. Bukan dengan alasan modus, kusurh Fatma, teman eskul
jurnalistik, suruh meliput acara penutupan itu. Eh, iya sih meliput, tapi
banyak foto modus ah. Tapi tak apalah. Udah tanggung ini. Beres acara, aku
diajak sama Mauldina untuk foto bareng sama semua anak anggota seni tari. Kata
dia juga, dia mau ngajarin aku ngemodus. Tapi ya bagaimana lagi sih, bagaikan
kerbau dicocok hidungnya, kuturuti aja lah. Foto sana, foto sini. Jepret sana,
jepret sini. Sampai juga pada acara inti, foto berdua. Maudina sih yang foto.
Karena ketika itu lagi gak mood untuk difoto, jadi aja kesannya sedikit
alay. Malemnya, dia nanyain, tadi gimana ketika dia tampil. Kujawab sajalah
dengan jujur, perfect. Sekaligus ngebahas foto berdua yang tadi sih. Ada
saja bahan koreksinya.
Hanya dalam 3 hari, semuanya berubah.
Malam minggu setelah MOS, Dinda nelpon. Basa basi dikit, it's show time.
Kumulai tuk mengutarakan isi hati ini kepada wanita yang menjadi lawan bicaraku
saat ini. Dan apa yang terjadi? Dia seolah tidak sadar kalo dia lagi ditunggu
jawabannya. Ujungnya, jadi malah ngejelasin tentang dunia psikologi secara
rinci. Esoknya, biasa lagi sih, cuman aku ngasih umpan terus, bagaimana
kelanjutan yang tadi malam. Sore pun tiba. Dinda sms,
"entar malem bisa telpon
gak?"
"Insyaallah, jam
berapa?"
"jam 9an aja deh"
"oke lah kalo
begitu."
Aku semakin penasaran mau ngomong apa
dia. Menjelang jam 9 malam, kutelpon dia. Basa basi dikit, kutanya langsung
saja.
"emang mau ngomong
apasih?"
"Dit, mau tau jawaban
aku?"
"apa?"
"aku gabisa..."
Krik krik krik, hening
semuanya.
"tanya dong kenapa
gitu..."
"kenapa?"
"aku gabisa... gabisa
nolak kamu..."
Aku melonjak kegirangan dalam hati
ini. Akhirnya. Pembicaraan pun kembali ngalor ngidul. Karena banyak tugas,
kuakhiri sajalah sesi telepon ini.
Karena terus terpikir, jadinya susah
tidur loh. Dia sms pada jam 11, "masih bangun?"
"iya, susah tidur nih.
kepikiran terus yang tadi. emang lagi apa?"
"lagi ngerjain
tugas"
"oh, semangat yaa. kalo
menyerah, lambaikan tangan saja. disana ada kamera, begitu pula dengan
disana."
"haha, emangnya dunia
lain?"
"gatau tah"
Pokoknya, percakapan malam itu memang
tak tentu topiknya deh. Dan mulai besok, hubungan kita akan semakin dekat,
karena kita sudah punya status yang jelas. Nun pada hari jumat, dia bulang kalo
besoknya dia mau tampil lagi. Kuberi lagi suntikan semangat dong. Dan besoknya,
dia kembali tampil dengan sempurna. Sungguh, nyaman sekali kalo di dekat dia
hati ini.
Namun, yang namanya hubungan, suatu
saat pasti akan putus. Demikian pula dengan hubungan kami. Tepat 10 hari
setelah kami jadian, dia memintaku untuk mengakhiri hubungan ini. Lewat sms. Aku
juga bingung, kenapa dia melakukan hal seperti itu.
"kurasa aku gak cocok deh sama kamu..."
"kenapa?"
"karena aku
gak bisa seperti wanita yang kau impikan. aku masih jauh dari kriteria yang kau
sebut tempo hari. dan juga, sikapku tak seperti apa yang kau lihat sepeti
biasanya "
“Dinda, semua itu butuh proses. tentang kriteriaku, kupikir kau sudah lolos
semua. apalagi,aku punya banyak informasi, entah dari kakakmu (kebetulan aku kenal kakaknya juga) dan
juga temanmu yang juga sangat mengenalmu”
“jadi?”
“kita putus.”
“kalo itu keputusanmu, baiklak. kuharap kau tidak menyesal dengan
keputusanmu kelak. dan juga, jangan sampai hubungan silaturahim ini putus ya.”
“iyaa, makasih buat semuanya ya. maaf.”
“gapapa kok Dinda, semuanya baik-baik aja kok.”
Jika itu memang membuatnya bahagia,
kuterima saja, walaupun dengan berat hati.
Minggu-minggu awal, yang namanya galau
tuh, kumat banget. Tapi, setelah beradaptasi beberapa hari dengan keadaan yang
seperti itu, aku mulai terbiasa. Dan kini, hubungan kami akrab sebagaimana
teman biasanya. Ya, seperti dulu. Tetapi, ada satu pertanyaan yang tersimpan di
pikiranku ini. Masihkah perasaan itu dia miliki untukku?
Comments
Post a Comment